Monday, March 19, 2012

Negeri 5 Menara: Novel vs Film

Sejak film Negeri 5 Menara ini tayang perdana, aku sudah penasaran ingin nonton. Tapi berhubung tak ada partner yang oke buat nonton, akhirnya tertunda-tunda. Inginnya sih nonton bareng suami, tapi suamiku tak berminat. Sepertinya dia berpendapat, film Indonesia kebanyakan tidak bermutu. Aku maklum, karena film-film Indonesia yang beredar saat ini memang kurang sedap ditonton, dibandingkan dengan film-film dari luar. Tapi film Negeri 5 Menara ini tidak seperti film-film Indonesia kebanyakan. Film yang diangkat dari sebuah novel ini, memang sarat makna dan pelajaran hidup. Aku sudah sangat tahu ceritanya, karena aku sudah membaca novelnya. Dan novel Negeri 5 Menara termasuk novel terbaik yang pernah aku baca. Sangat inspiratif, menggugah, dan menyentuh hati. Itulah yang membuatku penasaran dengan filmnya, aku berharap filmnya juga sebagus novelnya.

gambar dari sini
 Akhirnya akhir pekan kemarin, aku berdua dengan Lita, putriku, memutuskan nonton film ini. Kebetulan sebelumnya Lita cerita padaku �Ma, temen-temenku di kelasku udah pada nonton Negeri 5 Menara, katanya bagus loh Ma.. Aku jadi penasaran�. Aha! Akhirnya aku dapat partner nonton juga. Inilah asyiknya punya anak perempuan yang punya hobi sama.. bisa seru-seruan bareng.. hihihi.. Saatnya kita nonton!

******


�Yaaaah�� gumamku menunjukkan kekecewaan. Baru 5 menit film berlangsung, aku sudah kecewa dengan film ini. Adegan awal Alif dan sahabatnya, Randai, cukup membuatku berkerut. Sebenarnya bukan adegannya sih, tapi pemainnya. Aku kecewa dengan pemeran Randai, kenapa tak seganteng bayanganku yah?. Emang sih, di novel tidak disebutkan kalau si Randai tuh ganteng, tapi setidaknya menurut bayanganku, seharusnya Randai lebih ganteng dari Alif. Okelah, jangan kecewa dulu. Lihat saja kelanjutannya.


Ada amak dan ayah. Aku kesemsem dengan akting David Khalik sebagai ayah Alif. Dia tampak begitu kebapakan dan sangat arif. Pas sekali dengan gambaran di novelnya. Apalagi saat adegan percakapan Alif dan ayah, setelah menjual kerbau, demi biaya Alif sekolah. Ada dialog yang membuatku berkesan, kira-kira seperti ini �Hidup itu harus dijalani dulu, baru kita bisa tahu mana yang terbaik bagi kita�. Sayangnya akting menawannya tidak diimbangi dengan akting Lulu Tobing sebagai amak. Menurutku akting Lulu Tobing di sini sangat biasa, �feel�nya kurang menggigit.


Memasuki adegan awal kegiatan belajar mengajar di Pondok Madani, aku cukup terpana saat Ustad Salman memasuki kelas. Ya ampun! Ternyata pemeran Ustad Salman tuh Donny Alamsyah. Haduuh.. kalau ustadnya macho plus keren gini, aku rela banget jadi santrinya.. hihihi.. * salah fokus*.  Selain pemeran Ustad Salman, ada lagi yang membuatku salah tingkah sendiri, yaitu pemeran Kak Fahmi, Andhika Pratama. Tak tahu kenapa, rasanya di film ini Andhika Pratama tampak lebih ganteng dari biasanya. Kalau ada santri senior seganteng ini, aku mau banget jadi santri juniornya.. halah.. lagi-lagi salah fokus.. :D.


gambar Ustad Salman dari sini

gambar Kak Fahmi dari sini
 Pemeran Ustad Salman dan Kak Fahmi memang cukup memukau, tapi sayang sekali pemeran Kyai Rais sangat jauh dari ekspektasiku. Aku membayangkan sosok Kyai Rais adalah sosok yang sangat berwibawa dan bersemangat, dengan pidato-pidatonya yang menggugah. Jadi miriplah dengan wibawanya Dumbledore di film Harry Potter. Tapi ternyata di film ini acting Ikang Fawzi sebagai Kyai Rais terkesan dipaksakan. Dan bagiku jauh dari kesan berwibawa dan disegani.

Nah untuk pemeran para Sahibul Menara, menurutku sudah sangat pas, dan sesuai dengan gambaran karakternya di novel. Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Raja dari Medan, Dulmajid dari Madura, dan Alif dari Padang. Terutama karakter Baso, aku suka sekali. Sosok remaja yang bersemangat, cerdas, menginspirasi, dan punya tujuan mulia. Dan sosok Baso ini, diperankan dengan sangat apik oleh Billy Sandy. Siapa dia? Aku juga baru dengar namanya.. hehe.


Dari segi pemainnya memang ada beberapa yang tidak sesuai dengan bayanganku, tapi dari segi alur cerita, aku juga kecewa. Karena tidak semua bagian cerita di novelnya di tampilkan di film ini, jadi kesannya antar adegan seperti lompat-lompat, layaknya cuplikan saja. Tapi aku cukup memaklumi, karena tentunya tidak mungkin menampilkan semua adegan di novel ke dalam film yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam itu.  Sayangnya ada beberapa bagian di novel yang menurutku menarik untuk divisualkan, justru malah tak ditampilkan di filmnya.


Namun, terlepas dari itu semua, film ini memang layak untuk ditonton. Apalagi pemandangan yang ditampilkan sangat indah. Membuat kita sadar bahwa alam Indonesia memang mempesona. Juga gambaran persahabatan remaja-remaja dari berbagai daerah di pelosok tanah air yang hidup dalam satu asrama, digambarkan dengan indah pula. Itulah Indonesia :).


*****

Dalam perjalanan pulang, aku merasa masih ada rasa kurang �klik� dengan filmnya. Karena menurutku novelnya jauh lebih bagus. Semangat �Man jadda wajada�, terasa lebih hidup di novelnya. Tiba-tiba Lita meraih tanganku sambil berkata dengan wajah sumringah �Ma, filmnya bagus banget ya? Aku udah nyangka loh, pasti yang nonton banyak.. Tuh kan bener.. soalnya filmnya bagus sih.. Man jadda wajada!�. Alhamdulillah, ada rasa lega di hatiku saat mendengar kata-kata putriku itu. Ternyata pesan yang terkandung di film Negeri 5 Menara ini, sampai juga di hati dan pikirannya, walaupun dia tentu saja belum pernah membaca novelnya. Aaah, senangnya bisa memberikan hiburan yang mendidik untuk putriku :).

No comments:

Post a Comment