Thursday, May 3, 2012

Di Balik Rinai Hujan

�Tik.. tik..tik..� perlahan hujan turun membasahi kaca jendela di samping kubikelku. Kulayangkan pandanganku keluar. Aku menyukai hujan. Rintik-rintik hujan yang membasahi bumi, sungguh terasa menyejukkan. Tapi makin lama pandanganku makin kabur, tertutup oleh air hujan yang makin lama makin deras. Kabur dan semakin tak jelas. Seperti itulah yang kurasakan atas hidupku ini. Sesuatu yang tampak jelas dulu, kini lama-lama semakin samar. Segala hal yang kurencanakan, kuimpikan dan kudambakan, yang kulihat begitu indah dulu, dan yakin bisa kuwujudkan, kini tak lagi jelas, tertutup oleh begitu banyak masalah dan beban yang harus kutanggung. Masalah yang sering kali datang bertubi-tubi, seperti hujan yang turun di musim pancaroba ini.
Langit cerah seusai hujan

Sering kali aku lelah akan semuanya, dan merasa diperlakukan tak adil. Apalah artinya seorang Cova ini, hingga dia harus menanggung begitu banyak beban. Dia hanya wanita biasa, yang sering kali lemah dan lupa. Yah, aku bukan wonder woman, walaupun kadang ada yang menyebutku demikian. Menjadi ibu rumah tangga tanpa asisten, sekaligus menjadi wanita bekerja, itu sudah membuatku kewalahan. Belum lagi urusan kuliah, dan tetek bengek urusan di lingkungan kampungku. Semua kesibukan itu sangat menyita waktu dan energiku. Hingga beberapa kali aku lupa belum membayar tagihan asuransi pendidikan anakku. Lupa membayar honor office girl di kantorku, sampai 3 bulan. Untung si office girl ini, ga ngamuk-ngamuk. Lupa pula membukukan pengeluaran kas ibu-ibu kompleks, hingga akhirnya pada saat membuat laporan kas, aku harus nombokin kekurangannya. Lupa belum mengerjakan tugas-tugas kuliah, karena harus lembur di kantor. Sampai saat weekend pun aku harus lembur. Belum lagi urusan sekolah anak-anak, yang seringkali dadakan. Tak ketinggalan pula urusan dapur dan setrikaan. Ooohh.. aku sungguh lelah. Andai aku bisa melepaskan semuanya sejenak saja..

Pandanganku masih kearah luar jendela. Hujan yang makin deras, membuatku makin galau. Pemandangan di luar sana semakin buram karena kini mataku mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba, �Cova!� Mita memanggilku. Aku agak tersentak, buru-buru menahan air mataku, dan senyum palsupun terlukis di bibirku. Sungguh, aku tak ingin bicara dengan siapapun saat ini. Tapi seolah tak mengerti keadaanku, teman sekantorku itu menghampiri mejaku, dan duduk persis di depanku. Tanpa meminta ijin, tiba-tiba ratusan kata-kata keluar dari mulutnya. �Cova, aku pengen resign aja. Aku udah bosen di kantor ini. Orang-orangnya banyak yang ga bener, mau kerja malah tambah stress aja. Lagian kan sebenarnya aku kerja di sini bukan karena butuh uang. Kamu tau kan, suamiku bisa nyukupi semua kebutuhanku, bahkan sangat berlebih. Jadi gajiku dari sini ya buat aku seneng-seneng aja�. Aku hanya manggut-manggut tanpa memberi komentar, tapi dalam hati aku berkata �Sangat berbeda denganku. Aku bekerja disini karena aku memang perlu penghasilan, perlu uang, agar anak-anaku bisa hidup layak�.

Tanpa menunggu komentarku, Mita melanjutkan curhatannya lagi �Tapi kalau aku resign, aku bingung mo ngapain. Aku kan kerja cuma buat membunuh waktu aja, karena ga ada lagi yang bisa aku kerjain. Mau traveling, jalan-jalan, aku udah bosan. Udah semua negara aku jelajahi, apalagi daerah-daerah di Indonesia, semua udah aku datangi. Mau ngurusin anak-anak di rumah, anak-anakku justru yang ga mau diurusi. Mereka lebih senang mengurus diri sendiri. Mau kuliah lagi, buat apa lagi? Aku udah lulus S-2. Mau olahraga.. ah, aku ga mau jadi tambah kurus. Ah, Cova, aku mesti ngapain coba?�

Aku masih saja belum memberi komentar, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sungguh berbeda keadaan si Mita dengan keadaanku. Aku terlalu banyak kesibukan, sedangkan dia bingung karena merasa tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Pada awalnya ada sedikit rasa iri di hatiku padanya, karena melihat hidupnya yang serba enak, nyaman, tentram, tanpa banyak urusan. Sedangkan aku harus terus berjuang demi meraih impian dan masa depan yang lebih baik. Namun setelah mendengar keluh kesahnya, aku justru bersyukur. Aku bersyukur karena aku masih punya impian, punya passion, punya tujuan yang ingin aku wujudkan. Jadi semua masalah, kesibukan, dan kerepotan, adalah demi meraih impian dan cita-citaku. Tak ada yang lebih nikmat dari sebuah keberhasilan yang kita raih dengan keringat. Dan semua kesibukan yang kujalani membuatku merasa berguna, untuk diri sendiri maupun orang lain. Coba kalau dalam hidup ini tak ada lagi yang ingin kita raih, sungguh hampa sekali hidup kita.

No comments:

Post a Comment